SELAMAT DATANG DI BLOG PUSKESMAS SIRNAJAYA DINKES KAB.BEKASI

Kamis, 20 Januari 2011

MENKES RESMIKAN RUANG OPERASI RUMAH SAKIT UMUM SAYANG RAKYAT

MENKES RESMIKAN RUANG OPERASI RUMAH SAKIT UMUM SAYANG RAKYAT


Hari ini, 7 Januari 2011, Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, meresmikan Ruang Operasi Kamar Besar (OKB), Rumah Sakit Umum Sayang Rakyat, Makassar, Sulawesi Selatan. Selanjutnya kamar operasi besar ini dinamai Gedung dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH.
Dalam sambutannya, Menkes menyatakan pelayanan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama yang diwujudkan melalui program pelayanan kesehatan bagi masyarakat tanpa memandang status sosial masyarakat maupun golongan.
Tetapi dengan meningkatnya pendidikan dan sosio-ekonomi masyarakat, berdampak terhadap meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan umum yang lebih baik, lebih nyaman dan berkualitas, termasuk pelayanan di rumah sakit.

Menurut Menkes, untuk memenuhi semakin tingginya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan RS, maka RS wajib melakukan akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali. Ini berarti pemerintah menginginkan rumah sakit selalu meningkatkan mutu pelayanannya, sesuai UU RI No. 44 tahun 2009 tentang RS Pasal 40.
Menkes menyatakan berdirinya RSU Sayang Rakyat ini merupakan salah satu bentuk peran swasta dalam mengembangkan pelayanan kesehatan. Dengan diresmikannya gedung OKB ini berarti akan meningkatkan cakupan pelayanan operasi rumah sakit sesuai standar yang berlaku, terutama dalam mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
Menkes berharap RSU Sayang Rakyat ini dapat menjadi tempat pelayanan kesehatan yang terbaik dengan selalu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan antara lain melalui sistem akreditasi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 500567 dan 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

Rabu, 15 Desember 2010

Herbal dan Obat-obatan yang Pernah Diklaim Sembuhkan AIDS

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Jakarta, Bertahun-tahun sejak HIV/AIDS menjadi pandemi global, belum ada obat yang benar-benar mampu menyembuhkannya. Berbagai penelitian obat HIV telah dilakukan dan diklaim sangat menjanjikan, namun belum satupun yang benar-benar membuahkan hasil.

Pada akhir 2009, salah satu penelitian di Thailand sempat memberi harapan besar akan ditemukannya vaksin HIV. Keberhasilannya sempat menggemparkan dunia, meski belakangan konsistensi hasil penelitian tersebut diragukan dan akhirnya dinyatakan gagal.

"Kegagalan ini menjadi peringatan bagi kita betapa sulitnya memerangi HIV," kata Donald Francis, presiden direktur perusahaan VaxGen yang mengembangkan vaksin baru tersebut, seperti dikutip dari BBC, Kamis (16/12/2010).

Sejak saat itu, belum ada lagi temuan yang benar-benar bisa diharapkan. Berbagai penelitian obat dan vaksin HIV dengan klaim yang bombastis terus bermunculan, meski hingga kini tidak banyak yang terdengar tentang kelanjutannya.

Berita terbaru justru datang dari Jerman yang secara tak terduga menyembuhkan pasien HIV dengan melakukan cangkok stem cell. Awalnya dokter Jerman melakukan cangkok (transplantasi) stem cell (tunas sel induk) ke pasien untuk mengobati kanker darah (leukemia). Tapi secara tak terduga cangkok ke pasien yang juga mengidap HIV itu malah menyembuhkan penyakit HIV-nya.

Beberapa penelitian tentang herbal dan obat yang pernah dilakukan dan diklaim mampu mencegah penularan HIV atau bahkan mengobatinya antara lain sebagai berikut:

1. Vaksin Rabies
Sebuah penelitian di Thomas Jefferson University, Philadelphia mengungkap bahwa vaksin rabies bisa mengatasi infeksi simian immunodeficiency virus (SIV). Virus tersebut hanya menyerang hewan, namun punya struktur yang sama dengan human immunodeficiency virus (HIV) pada manusia.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal Vaccine pada tahun 2009 itu sedianya akan mengembangkan vaksin rabies untuk mengatasi HIV. Namun hingga kini tidak banyak publikasi yang mengungkap perkembangannya.

2. Obat Jerawat
Awal tahun lalu, para ahli dari Johns Hopkins University menguji coba keampuhan sebuah antibiotik untuk membuat HIV tidak aktif sehingga tidak bisa menggandakan diri. Jenis antibiotik yang digunakan sama seperti yang digunakan untuk mengobati jerawat yakni minocycline.

Penelitian mengenai hal itu dipublikasikan dalam Journal of Infectious Diseases edisi 15 April 2010.

3. Rumput laut
Sebuah penelitian yang dimuat di Wall Street Journal awal tahun 2002 mengungkap bahwa rumput laut bermanfaat untuk mencegah penularan infeksi menular seksual termasuk HIV. Kandungan berkhasiatnya adalah semacam jeli yang dinamakan carraguard, yang dihasilkan oleh jenis rumput laut merah.

Ketika itu uji preklinis pada binatang menunjukkan hasil positif, namun tidak banyak diketahui bagaimana hasilnya ketika jeli tersebut diberikan dalam uji klinis terhadap pada 6 ribu partisipan wanita.

4. Sari nanas
Baru-baru ini Dr.rer.nat Maruli Pandjaitan dari Swiss-German University, BSD Tangerang meneliti manfaat nanas untuk meningkatkan kekebalan tubuh pada pengidap HIV. Enzim brobelain pada nanas diklaim bisa meningkatkan CD4 (komponen kekebalan tubuh) dari sekitar 150 sel/ul menjadi 650-720 sel/ul (normal 410-1.100 sel/ul).

Dalam penelitian tersebut Maruli hanya melibatkan 3 pasien HIV positif sebagai partisipan, namun awal tahun 2011 ia akan melakukan penelitian yang lebih besar dengan jumlah partisipan 50 orang yang dijaring dari sejumlah Puskesmas di DKI Jakarta.

http://www.detikhealth.com/read/2010/12/16/103259/1526108/766/herbal-dan-obat-obatan-yang-pernah-diklaim-sembuhkan-aids?881104755

Senin, 13 Desember 2010

Posyandu Ditinggalkan Setelah Balita Dapat Imunisasi Lengkap

Jakarta, Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) merupakan garda depan untuk membantu memastikan tumbuh kembang anak di Indonesia. Sayangnya, sebagian ibu-ibu masih menganggap Posyandu hanya tempat untuk mendapatkan imunisasi, sehingga banyak yang meninggalkan Posyandu setelah imunisasi lengkap.

Saat ini ada sekitar 350.000 Posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia, yang merupakan garda depan dalam melayani masyarakat, terutama anak-anak.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada periode Juni 2009 sampai Mei 2010 di 9 Provinsi dan 22 kota di seluruh Indonesia, 97 persen anak sudah dibawa ke Posyandu setiap bulan. Tetapi sebagian kegiatan rutin tersebut berhenti setelah anak berusia 2 tahun.

"Posyandu itu bukan hanya tempat untuk mendapatkan imunisasi, tetapi juga memonitoring pertumbuhan dan perkembangan anak hingga usia 5 tahun. Tapi kebanyakan ibu-ibu sudah drop out dari Posyandu setelah merasa imunisasi anaknya lengkap," ujar Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS, dari Fakultas Ekologi Manusia Departemen Gizi Masyarakat IPB, disela-sela acara Konferensi Pers 'Ayo ke Posyandu Tumbuh, Aktif, Tanggap' di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin (13/12/2010).

Menurut Prof Ali, ada banyak alasan ibu tak mau lagi membawa anaknya ke Posyandu, antara lain:
Merasa sudah tidak punya tanggungan untuk ke Posyandu karena merasa imunisasi sudah lengkap
Malas membangunkan anaknya
Ibu sibuk atau bekerja

"Padahal ke Posyandu bukan hanya untuk mendapatkan imunisasi, tetapi memonitor dan menimbang berat badan anak. Hal ini karena kebanyakan anak balita sering mengalami fase susah makan, sehingga berat badannya harus dikontrol terus jangan sampai si anak kekurangan gizi. Sebaiknya ibu tetap rutin ke Posyandu hingga anak usia 5 tahun, meskipun imunisasi anak sudah lengkap," lanjut Prof Ali.

Kegiatan penimbangan berat badan rutin sangat penting untuk mengamati pertumbuhan yang terjadi pada anak. Dengan penimbangan berat badan rutin juga dapat menemukan kasus-kasus gizi kurang dan mencegah busung lapar.

Prof Ali menuturkan, usia 5 tahun merupakan periode kritis kedua pada anak. Bila pertumbuhan anak tidak dipantau hingga mengalami status gizi yang buruk, maka hal tersebut bisa berlanjut seiring pertumbuhan anak. Jadi, sebaiknya tetaplah rutin membawa balita Anda ke Posyandu hingga usia (mer/ir)

http://www.detikhealth.com/read/2010/12/13/161911/1523487/775/posyandu-ditinggalkan-setelah-balita-dapat-imunisasi-lengkap?l991101755

Jumat, 10 Desember 2010

PERKEMBANGAN DAN RENCANA PENGEMBANGAN SOFTWARE PWS KIA (KARTINI)

PERKEMBANGAN DAN RENCANA PENGEMBANGAN SOFTWARE PWS KIA (KARTINI)
 
  10 Desember 2010 11:31


Dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan anak di Indonesia, sistem pencatatan dan pelaporan merupakan komponen yang sangat penting. Selain sebagai alat untuk memantau kesehatan ibu hamil, bayi baru lahir, Bayi dan Balita, juga untuk menilai sejauh mana keberhasilan program tersebut dijalankan serta sebagai bahan untuk membuat perencanaan di tahun – tahun berikutnya.

Untuk membuat perencanaan yang baik, dibutuhkan data yang akurat dan lengkap. Keakuratan data diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan prioritas masalah. Sedangkan kelengkapan data sangat diperlukan untuk menyusun perencanaan yang komprehensif, yang dapat menjawab dan memecahkan akar permasalahan kesehatan di suatu wilayah.

Sebagian besar data KIA yang tersedia di lapangan adalah data cakupan pelayanan KIA yang dari segi keakuratan masih sangat lemah. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara data yang dikumpulkan melalui kegiatan PWS dengan data hasil survey yang dikumpulkan langsung dari masyarakat. Di samping itu, ketersediaan data spesifik mengenai kesakitan ibu dan bayi masih sangat kurang. Banyak wilayah tidak memiliki data tentang prevalensi anemia pada ibu hamil, KEK pada ibu hamil, malaria pada ibu hamil, gizi buruk dan data kesakitan lainnya, padahal jenis kesakitan tersebut memberikan kontribusi yang nyata untuk terjadinya kematian ibu dan Balita. 

Sistem Pencatatan dan Pelaporan mulai digunakan secara sistematis sebagai alat untuk pemantauan suatu wilayah pada tahun 1985, dengan dikembangkannya Pemantauan Wilayah Setempat Imunisasi (PWS Imunisasi). Saat itu PWS Imunisasi digunakan untuk memantau cakupan pelayanan imunisasi di suatu wilayah secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat terhadap wilayah yang cakupan pelayanan imunisasinya masih rendah. Berdasarkan keberhasilan pelaksanaan PWS Imunisasi tersebut, pada tahun 1987 – 1988 dikembangkan PWS – KIA dan PWS Gizi.

Pada tahun 1990, PWS Imunisasi, PWS KIA dan PWS Gizi telah digunakan secara nasional dengan melibatkan lintas sektor. Pada tahun tersebut pula, Indonesia berhasil mencapai UCI dan angka kematian bayi turun secara signifikan. Hasil dari PWS KIA tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh sektor kesehatan tetapi juga dimanfaatkan oleh sektor lain (Depdagri, BKKBN, Deptan). Karena keberhasilannya di Indonesia, sistem PWS juga direplikasi di beberapa Negara tetangga.

Pada tahun 1998 – 2007 dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, pemantauan yang sistematis tidak dilakukan secara optimal, data – data PWS KIA yang dikumpulkan di beberapa daerah ada yang tidak dianalisis, tidak dilaporkan dan tidak dimanfaatkan.

Melihat kenyataan tersebut dan sejalan dengan digulirkannya reformasi sistem pelayanan kesehatan dasar maka pada tahun 2007 dilakukan reformasi PWS KIA oleh Departemen Kesehatan.  Reformasi ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan informasi dan akurasi data. Untuk itu PWS KIA disempurnakan dengan dilakukan penelusuran kasus, data dan informasi dengan melibatkan kader dan tokoh masyarakat.

Salah satu kegiatan reformasi PWS KIA adalah revisi buku Pedoman PWS KIA. Perbaikan mendasar yang dilakukan adalah adanya penambahan indikator pemantauan sesuai dengan perkembangan program kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Indikator yang ditambahkan antara lain : KN1, KN Lengkap, Penanganan Komplikasi Kebidanan, Komplikasi Neonatus Ditangani dan Kunjungan Balita sakit ditangani sesuai MTBS. Selain itu, pada bagian analisis lebih dipertajam dengan analisis penelusuran data kohort dan cakupan disertai dengan contoh praktis dalam aplikasinya. Secara keseluruhan, pada buku pedoman PWS KIA baru lebih ditekankan pada segi pemanfaatan data PWS KIA untuk meningkatkan keterlibatan lintas sektor dalam mendukung penurunan angka kematian ibu dan bayi.

Berbagai revisi tersebut memerlukan perbaikan format pencatatan data KIA. Untuk mempermudah petugas di lapangan dalam melakukan pencatatan, pengolahan, analisis dan penelusuran, dikembangkan Software PWS KIA. Hal ini sangat berguna untuk membantu menghasilkan suatu informasi  yang berorientasi kepada tindakan dalam upaya meningkatkan perencanaan dan pelayanan kesehatan oleh Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Lintas Sektor (BAPPEDA) dalam penyediaan anggaran.

Reformasi PWS KIA telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesehatan ibu dan anak serta meningkatkan keterlibatan lintas sektor dalam mendukung penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Namun masih banyak kendala yang dikeluhkan oleh petugas di lapangan. Isu yang paling banyak dikeluhkan adalah banyaknya format pencatatan yang harus dikerjakan sedangkan tools PWS KIA yang sudah dikembangkan masih terbatas pada pencatatan kesehatan ibu dan anak. Kondisi yang paling ideal adalah satu sistem informasi kesehatan yang terintegrasi di Puskesmas.

Dapat dikatakan bahwa software PWS KIA yang sekarang ada merupakan satu – satunya tools yang memiliki feature penelusuran dan feature analisis yang paling lengkap untuk sistem informasi kesehatan di Puskesmas. Untuk menghindari penggunaan lebih dari 2 software di tingkat Puskesmas, maka software PWS KIA yang bernama Kartini dapat dikembangkan dan ditambahkan feature SIMPUS didalamnya sehingga seluruh kebutuhan data dan laporan dapat disediakan.

Dalam rangka mencapai kondisi ideal tersebut, tools PWS KIA akan ditambahkan variabel dan feature baru yaitu :

· Penyempurnaan variabel dan laporan untuk neonatus, bayi dan anak balita
· Feature laporan imunisasi dan analisisnya
· Feature laporan gizi dan analisisnya
· Anthropometri WHO

Rencana pengembangan berikutnya adalah kodefikasi nomor ibu menggunakan nomor identitas penduduk (KTP) sesuai dengan program nasional yaitu satu Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal ini dilakukan agar software kartini dapat diaplikasikan oleh unit fasilitas kesehatan lain seperti BPS, RB, Klinik dll. Selain itu juga akan dikembangkan feature laporan dari kabupaten/kota ke Propinsi dan Pusat sehingga sistem pelaporan tersebut dapat terintegrasi dengan SIKNAS ONLINE. Kami sangat mengharapkan dukungan dari semua pihak terkait dalam mencapai keberhasilan pengembangan software PWS KIA ini. Demikianlah perkembangan dan rencana pengembangan software PWS KIA. Semoga semuanya dapat berjalan lancer dan segera direalisasikan.(Andy Yussianto)
sumber diambil dari:
 http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=52:perkembangan-dan-rencana-pengembangan-software-pws-kia-kartini&catid=25:pws-kia&Itemid=69

Kamis, 02 Desember 2010

Gejala Depresi Pasien Rheumatoid Arthritis

Gejala Depresi Pasien Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) atau terkadang orang awam menyebutnya rematik adalah suatu penyakit inflamasi sistemik yang kronik.

Pasien biasanya mengalami gejala awal-gejala biasanya samar-samar, sepeti nyeri musculoskeletal (otot dan tulang) yang cepat berlalu dan morning stiffness (kaku pada pagi hari) yang berlangsung beberapa minggu atau bulan tanpa menghasilkan diagnosis. Penyakit ini dapat menyebabkan ketidakmampuan dan kecacatan, bahkan dalam kondisi penyakit yang masih awal.

RA juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan moodpada penderitanya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus pasien RA yang ternyata juga disertai depresi. Sampai saat ini penyebab pasti dari penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini biasanya mengenai membran sinovial dari berbagai sendi penghubung.

Prevalensinya pada populasi umum adalah sebesar 1-2%, dan perempuan menderita tiga kali lipat lebih banyak daripada pria. Biasanya penyakit ini bermula pada usia sekitar 20�40 tahun. Dahulu penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang ringan, tapi saat ini terdapat kecenderungan penyakit ini mempertinggi angka kematian dan menyebabkan ketidakberdayaan yang berat sehingga pengobatan awal dan agresif sangat diperlukan.

Walaupun banyak penelitian baik di bidang genetik maupun imunologi, penyebab RA tetap tidak dapat diketahui pasti.Penelitian saat ini banyak memfokuskan pada kemungkinan bahwa penyakit ini merupakan hasil dari infeksi oleh organisme yang tidak diketahui, berlangsung secara genetik pada host (individu) yang rentan.

Penelitian yang berusaha untuk menjelaskan apakah stres akut mempunyai peranan dalam terjadinya RA mendapatkan hasil bervariasi. Beberapa penelitian mengatakan beberapa pasien akan memberikan sensitivitas berbeda terhadap suatu stress yang potensial. Adanya hendaya (ketidakmampuan) dalam hubungan interpersonal sangat bermakna dalam pengalaman yang penuh tekanan pada pasien-pasien rheumatoid arthritis.

Depresi dan Rheumatoid Arthritis
Kepustakaan mencatat beberapa penyakit yang mengenai sistem muskuloskeletal yang mempunyai peranan terhadap timbulnya depresi. Penyakit yang sering dihubungkan adalah osteoarthritis (OA), rhemautoid arthritis (RA), dan fibromyalgia.Abdel menyatakan dalam penelitiannya bahwa gejala depresi lebih banyak terdapat pada penyakit RA dibandingkan OA.

Lebih jauh dikatakan bahwa pada pasien rheumatoid arthritis terdapat sekurangnya seperempat atau lebih pasien yang menderita depresi. Data lain menyebutkan prevalensi depresi pada pasien RA berkisar 14% sampai 46%. Penelitian menyebutkan, gejala depresi lebih sering terdapat pada pasien RA daripada gambaran diagnosis depresi secara klinik.

Hal lain yang mungkin terjadi adalah karena keluhan RA dengan gejala depresi hampir mirip,yaitu kelelahan,mengantuk,hilang energi,dan pertanyaan berkenaan dengan hal ini terdapat pada kuesioner dan alat bantu tes psikologis. Ini dapat menyebabkan kejadian depresi pada pasien RA dipandang sebelah mata.

Penelitian yang dilakukan Abdel mencatat bahwa data demografik seperti status perkawinan dan masyarakat kota berhubungan dengan angka timbulnya gejala depresi pada pasien RA.Pasien yang tidak menikah akan lebih mudah mengalami gejala depresi berkenaan dengan penyakit RA daripada yang menikah.

Peneliti lain juga mengatakan bahwa tidak menikah merupakan faktor prediksi bermakna untuk timbulnya depresi pada pasien RA. Keadaan tempat tinggal pasien RA tidak pernah diteliti sebelumnya.Namun, berdasarkan penelitian Abdel, ternyata pasien RA yang tinggal di perkotaan lebih banyak yang mengalami depresi daripada yang tinggal di pedesaan. Kemungkinan faktor yang berhubungan dengan hal ini adalah kepuasan hidup dan mobilitas pasien.

Apa yang Dapat Dilakukan
Pengobatan penyebab dasar haruslah ditangani segera. Untuk itu pasien harus berkonsultasi secara tepat dengan ahlinya. Pasien dengan gejala yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dapat berkonsultasi ke dokter penyakit dalam yang ahli di bidang rheumatologi (konsultan rheumatologi) atau bisa juga ke dokter penyakit dalam.

Depresi atau lebih tepatnya gejala depresi yang muncul akibat menderita rheumatoid arthritis biasanya akan membaik dengan semakin baiknya penyakit yang diderita oleh pasien. Pengobatan depresi menggunakan obat-obatan antidepresan yang mempunyai efek anti nyeri juga seperti golongan amitriptiline dan golongan serotonin norephineprine reuptake inhibitor dapat menjadi pilihan bila gejala depresi menetap dan menghambat proses rehabilitasi penyakit dasarnya.

Psikoterapi juga memegang peranan penting. Suatu penelitian mengatakan hasil yang baik yang didapatkan pada terapi kognitif pasien rheumatoid arthritis, baik untuk gejala depresinya maupun untuk gejala penyakit dasarnya. Tentunya hal ini membutuhkan kerja sama yang baik dari berbagai disiplin ilmu untuk menghasilkan harapan sembuh yang lebih baik lagi bagi pasien rheumatoid arthritis. (*)

Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/221029/

Senin, 08 November 2010

Jangan Sembarang Minum Obat Rematik

Nyeri pada persendian merupakan gejala utama dari penyakit rematik. Karena itu, fokus penanganan pasien rematik adalah mengontrol rasa nyeri serta mengurangi kerusakan sendi, salah satunya dengan terapi farmakologi atau obat-obatan.
Obat rematik termasuk dalam obat keras dan harus dikonsumsi dalam jangka panjang, bahkan seumur hidup. Karena itu masyarakat diharapkan tidak sembarangan mengonsumsi obat rematik karena efek sampingnya tidak remeh.
Menurut dr.Bambang Setyohadi, Sp.PD-KR, dari Divisi Reumatologi FKUI/RSCM, secara umum mekanisme obat rematik bekerja dengan tiga cara, yakni pereda nyeri (pain killer), meredakan radang, serta ada pula obat yang bekerja untuk memodifikasi perjalanan penyakit.
"Obat rematik harus dikonsumsi dalam jangka panjang, karena itu berdampak pada tubuh. Misalnya saja merusak ginjal, liver, menekan sumsum tulang, dan sebagainya. Obat pereda nyeri saja jika sering-sering dikonsumsi pasti menimbulkan efek samping," katanya dalam acara media edukasi mengenai penyakit rematik yang diadakan Pfizer di Jakarta (4/11/2010).
Itu sebabnya, menurut dr.Bambang setiap dua atau tiga bulan sekali pasien rematik harus kontrol ke dokter untuk memonitor kesehatan secara umum. Biasanya dokter akan meminta pasien untuk melakukan cek darah di laboratorium.
Meski dikonsumsi jangka panjang, namun obat rematik sekali-sekali bisa dihentikan. "Rematik memang tidak bisa disembuhkan, tapi bukan berarti penyakitnya tidak bisa mereda atau mencapai fase remisi. Jika penyakitnya reda, obatnya boleh dihentikan. Karena itu penting untuk berobat teratur sehingga bisa dicapai remisi yang lama," katanya.
(JAKARTA, KOMPAS.com -  )

Senin, 11 Oktober 2010

PETA WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIRNAJAYA